KISAH NABI MUSA dan NABI KHIDIR
Hari
ini disuguhi dengan sebuah khutbah yang sangat bermanfaat dari khotib
hari ini. Kisah antara nabi Musa dan nabi Khidir. Kisah ini dikisahkan
dalam surah Al-Kahfi yang disunnahkan pada kita untuk membacanya setiap
malam jum'at dan hari jum'at. Dan cerita ini mencangkup hanya sedikit
bagian dari di dalam surah tersebut. Sebenarnya tadi mau ngetik
langsung, soalnya kitab Tafsir Ibnu katsirnya kagak bisa di copas~. Tapi
berhubung, di kisahmuslim.com ada tertulis, jadi saya copas saja,
setelah saya cocokkan isinya memang sama. Semoga bermanfaat dan selamat
membaca.
Dari
Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara
di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah
orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan
ucapan itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan
pengetahuan suatu ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada
Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan
antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa
bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu
dengannya?’ Maka dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke
dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku
itu berada!’
Kemudian
Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin
Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga
keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan tubuhnya sejenak
lalu tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat tersebut.
Ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya
merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa berkata kepada pelayannya,
آتِنَا غَدَاءنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
‘Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصاً
‘‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS. Al-Kahfi: 64)
Setibanya mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir
(orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan
tadi?’ Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang
dari Bani Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْد. قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
‘‘Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab,
‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘
(QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir
berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang
hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan
engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja,
yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata,
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
‘Insya
Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak
akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69)
Kemudian,
keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka
berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan
membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang
kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba,
seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk
atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai
Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali
seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!’
Khidhir
lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir melubanginya.
Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah
bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau
sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud
menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab,
قَالَ
أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً. قَالَ لَا
تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْراً
‘Bukankah
aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersamaku.’ Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah
sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan
perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang
bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak
itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya,
أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُّكْراً
‘Mengapa
kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’ (QS. Al-Kahfi:
74)
Khidhir menjawab,
أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْراً
‘Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka,
keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk
negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan
dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
فَأَقَامَهُ
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْر. قَالَ هَذَا فِرَاقُ
بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع
عَّلَيْهِ صَبْراً
‘Khidhir
berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa
berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’
Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.’‘ (QS.
Al-Kahfi: 77–78).
Semoga
Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita
sangat menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita
memperoleh cerita tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan
Muslim no. 2380)
Pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang pandai dan terhormat boleh meminta orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya.
2.
Anjuran untuk tawadhu’ dan tidak sombong karena kepandaiannya, dan jika
ditanyakan kepadanya, “Siapa orang yang paling pandai?” Hendaknya
menjawab, “Allahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
3. Kewajiban melaksanakan ajaran yang telah disyariatkan sekalipun akal tidak mampu mencernanya.
4. Anjuran safar dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu agama, ed).
5. Anjuran untuk bersopan santun dengan para ulama dan orang yang lebih tua.
6. Ketetapan adalah karamah para wali.
7. Diperbolehkan meminta makanan jika memang membutuhkan.
8.
Diperbolehkan menempuh perjalanan dengan berlayar, dan diperbolehkan
meminjam kendaraan, menempati rumah, atau memakai pakaian kawannya tanpa
memberi imbalan, jika pemiliknya ridha.
9. Menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang tampak.
10.
Jika harus menghadapi dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar harus
dihindari dengan cara melakukan bahaya yang lebih ringan.
11. Disyariatkan memberi bimbingan dengan khutbah dan melakukan tanya-jawab.
12. Para nabi bisa lupa, kecapekan, lapar, dan tidur.
13. Lemah lembut kepada pengikut dan pembantu.
14. Manusia tidak sepi dari was-was setan.
15.
Disunnahkan bahwa orang yang menyeru seseorang kepada kebaikan atau
mengingatkannya, hendaknya ia memulai dengan dirinya sendiri, dan tidak
terlarang pula jika sebaliknya. Keduanya disinyalir dalam sunnah.
16. Hadits ahad diterima dalam masalah-masalah akidah.
Sumber: Wahab, Muhammad. 2009. 61 Kisah Pengantar Tidur. Darul Haq, Cetakan VI, .
0 komentar:
Posting Komentar